Kita berkata dalam kata, aku dan kamu
sama saja hanya menghitung rindu di atas doa. Setelah sekian lama kita
berkata dalam kata yang ada rasa. Kita mencoba mengerti: ada rindu di
atas doa. Tapi sekarang aku merasa. Sebenarnya apa yang terjadi? Merasa
getar tapi tak pernah bernada di antara desah daun basah. Karena membaca
isyaratmu sulit bagiku. Aku tak paham tingkahmu yang begitu baik
padaku. Apa semua itu hanya kebetulan? Tapi mengapa kamu selalu memberiku sebuah kata yang menghidupkan rasa semangat. Selalu saja kamu berikan, ketika sang bulan melipat senyuman dan meletakkannya di warna biru yang tertutup awan.
Hatiku berjalan menuju pengetahuan. Dengan membaca dan mengeja makna senyumanmu padaku. Aku terkesima. Namun tak semudah itu aku mengartikannya sebagai cinta. Mungkin aku bodoh. Selalu buta dengan makna cinta begitu luas. Atau barang kali aku belum pernah jatuh cinta. Bila itu benar cinta. Apa harus mengatakan secara langsung dan secepat itu? Cinta memang satu-satunya kebebasan di dunia. Namun cinta tak sekedar datang dari keakraban yang lama atau pendekatan yang tekun. Cinta adalah kesesuaian jiwa dan jika itu tak pernah ada, cinta tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad. –Kahlil Gibran.
Hatiku berjalan menuju pengetahuan. Dengan membaca dan mengeja makna senyumanmu padaku. Aku terkesima. Namun tak semudah itu aku mengartikannya sebagai cinta. Mungkin aku bodoh. Selalu buta dengan makna cinta begitu luas. Atau barang kali aku belum pernah jatuh cinta. Bila itu benar cinta. Apa harus mengatakan secara langsung dan secepat itu? Cinta memang satu-satunya kebebasan di dunia. Namun cinta tak sekedar datang dari keakraban yang lama atau pendekatan yang tekun. Cinta adalah kesesuaian jiwa dan jika itu tak pernah ada, cinta tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad. –Kahlil Gibran.